Harus “Keroyokan”, Tangani Stunting di Tolitoli
NUSSA.CO, TOLITOLI – Upaya penurunan prevelansi stunting di Indonesia, tak terkecuali di Kabupaten Tolitoli tidak hanya tugas BKKBN. Misi besar ini harus dilakukan secara “keroyokan”, melibatkan semua pihak terutama pilar TNI Polri serta masyarakat pada umumnya.
“Ya memang harus keroyokanlah ya, BKKBN melalui Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P2KB) Tolitoli bersama TNI dan Polri. Di Tolitoli kita apresiasi TNI yakni Kodim 1305/BT sudah berbuat melalui program jamban sehat untuk warga kurang mampu dengan kasus stunting,” ungkap Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Tolitoli Lely Husna Bantilan S.Sos, Kamis (23/02/2023).
Lanjut Lely, umumnya faktor kasus stunting terjadi di antaranya akibat pernikahan dini. “Sebab, dari pernikahan dini itu biasanya si ibu muda tidak memperhatikan pola hidup sehat, gizi dan hal lain yang berhubungan dengan kesehatan janin, dari situ awal mula terjadinya stunting,” sebut Lely.
Nah, karena itulah BKKBN meluncurkan program kemitraan melalui wadah 1000 mitra untuk 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Hal terpenting pula ada dukungan, partisipasi, dan aksi dari berbagai elemen masyarakat, baik pemerintah, swasta, organisasi masyarakat, komunitas, dan individu untuk bergabung dalam wadah 1000 Mitra untuk 1000 Hari Pertama Kehidupan.
Pondasi utama kehidupan manusia di masa depan dapat dipengaruhi oleh pengasuhan pada 1000 HPK, yang dimulai sejak awal konsepsi atau selama 270 hari masa kehamilan serta 730 hari setelah lahir hingga anak berusia 2 tahun. Pada periode ini, terjadi perkembangan otak, sistem metabolisme tubuh dan pembentukan sistem kekebalan tubuh yang begitu cepat, apabila pada masa itu terlewati dan anak terlanjur stunting akan sangat sulit terkoreksi kembali.
Saat ini angka stunting di Indonesia masih tinggi. Dari hasil Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2019, prevalensi stunting di Indonesia masih sebesar 27,67 persen.
Sedangkan di Sulteng yang paling tinggi prevalensi kasus stuntingnya di Kabupaten Sigi yakni mencapai 40,7 persen, dan Parigi Moutong mencapai 31,8 persen dari total penduduk, dan yang paling berkontribusi terhadap kasus stunting di dua daerah ini adalah pernikahan dini.
Lely menambahkan, perlunya sinergitas penanganan stunting, termasuk pihak swasta, organisasi masyarakat, dan aktivis, komunitas, maupun individu di Kabupaten Tolitoli dalam rangka mendukung program pendampingan dan intervensi stunting di tingkat keluarga dan ibu-ibu hamil.
“Kami berharap, semua elemen tidak hanya P2KB, TNI Polri, tetapi semua elemen berkontribusi dalam penanganan kasus stunting di Kabupaten Tolitoli,” harapnya.
Untuk diketahui, BKKBN saat ini telah membentuk 200 ribu Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang masing-masing beranggotakan tiga orang, di seluruh Indonesia.
TPK terdiri dari Bidan, Kader KB, dan Tim Penggerak PKK yang merupakan ujung tombak dari upaya percepatan penurunan stunting di Indonesia untuk mengejar target prevalensi stunting 14 persen pada 2024. (dni)
Sebelum Maret, seluruh Tim Pendamping Keluarga harus sudah dilatih untuk upaya percepatan penurunan stunting.
Menurut informasi, sejumlah daerah telah melakukan pelatihan bagi fasilitator Tim Pendamping Keluarga. Di Jawa Tengah, BKKBN melatih 608 orang fasilitator TPK yang terbagi dalam 15 angkatan. Sementara itu sebanyak 236 Fasilitator dari 17 kabupaten dan kota se-Provinsi Sulawesi Tenggara mengikuti workshop dan pelatihan TPK, awal Februari lalu. (Ham)
Tinggalkan Balasan