Loadingtea

NUSSA.CO, TOLITOLI — Setelah menuai “sejuta” sorotan, kritikan yang disertai dukungan penuh kalangan mayarakat Sulteng, kerja-kerja Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tengah (Sulteng) untuk tegas memberantas tindak pidana korupsi, mulai kembali ON FIRE.
Salah satu perkara yang terus mendapat atensi serius adalah kasus dugaan penyimpangan Dana Corporate Social Responsbility (CSR) Bank Sulteng cabang Tolitoli tahun 2020, senilai Rp 1.017.400.456.

Teranyar, tim penyidik Kejati Sulteng kabarnya telah memeriksa atau meminta keterangan sejumlah pejabat dan mantan pejabat di Tolitoli, di antaranya mantan Bupati Tolitoli Moh. Saleh Bantilan yang akrab disapa Pak Ale.
Setelah itu, giliran mantan Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Tolitoli Mukaddis Syamsudin, Plt. Inspektur Inspektorat Tolitoli, M.N.M.T Masyhur, serta staf Dinas Sosial (Dinsos) Bagian Pendataan Tolitoli, Isa dan Arif, Jumat (8/10).

Belum bisa membeberkan lebih rinci siapa yang diperiksa dan bagaimana hasilnya, namun Kasi Penkum Kejati Sulteng Reza Hidayat SH.MH membenarkan informasi tersebut. Pihak Kejati hanya bisa menyebutkan bahwa yang dimintai keterangan adalah Inspektur Inspektorat dan Mantan Sekkab.
“Benar, Inspektur Inspektorat dan mantan Sekda dimintai keterangannya,” tulis Reza via WhatsApp.

Sebelumnya, Reza juga pernah menyampaikan bahwa mantan Bupati Tolitoli Moh. Saleh Bantilan telah dimintai keterangannya pada Selasa (5/10).

“Mantan bupati sudah dimintai keterangannya kemarin (5 Oktober, Red),” tulisnya lagi.
Dikonfirmasi terpisah, Staf Dinsos Bagian Pendataan Arif dan Isa mengaku telah dimintai keterangannya oleh penyidik Kejati Sulteng. Kepada penyidik Arif mengaku, di tahap pertama, penyaluran bansos diserahkan kepada penerima dari dua kecamatan yakni Kecamatan Baoalan dan Kecamatan Galang. Total jumlah bersama penerima sebanyak 2.663 orang. Sedangkan di tahap kedua, bansos didistribusikan ke tiga kecamatan yakni Kecamatan Tolitoli Utara, Ogodeide dan Kecamatan Lampasio dengan jumalah penerima sebanyak 2.423 orang.

Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdatul Ulama (LAKPESDAM NU) Fahrul Baramuli serta Sekretaris Lembaga Anti Korupsi Republik Indonesia (LAKRI) Tolitoli Hernald Loho, sama-sama mengungkapkan bahwa, ada hal penting yang perlu mendapat perhatian serius APH dalam kasus ini. Yakni, mekanisme dan aturan pemberian dana CSR dari Bank Sulteng kepada pemerintah daerah untuk diteruskan ke penerima.

Umumnya yang biasa dilakukan adalah, pihak Bank menerima usulan atau permohonan bantuan dari pemerintah daerah. Kemudian, pihak bank merealisasikannya dalam bentuk barang bukan dalam bentuk cash money, apalagi sampai ditransfer ke rekening bendahara Dinas Sosial tanpa alur yang benar.

“Lah, faktanya berdasarkan temuan BPK RI bahwa, uang cash itu ditransfer ke rekening bendahara Sosial, seharusnya karena ini judulnya dana untuk penanganan Covid-19 mestinya ditransfer ke Satgas Covid-19 atau ke rekening keuangan daerah yang telah ditunjuk bupati. Jika dalam bentuk barang, maka bank menyerahkan belanja barang ke rekanan atau penyedia, kemudian barangnya diserahkan ke Satgas Covid-19 dengan berkoodinir ke Dinsos sebelum dibagikan kepada pemerinma. Sudah jelas ini ada yang salah, benar-benar salah besar, betul saja kalau disebut “berjamaah” ada konspirasi,” beber Fahrul.

Ditambahkan Hernald Loho, dalam realisasi bansos juga ditemukan adanya beberapa kejanggalan di antaranya, dana yang ditransfer Bank Sulteng ke rekening bendahara Dinsos sebesar Rp 532.652.497 ternyata telah mengendap selama 3 bulan, sejak 29Juli 2020, dan pada bulan Oktober tepatnya 6 dan 7 Oktober dana tersebut baru ditransfer ke rekening penyedia barang.
Begitu pula pada tahap kedua, Bank Sulteng melakukan transfer dana sebesar Rp. 484.747.959 ke rekening bendahara Dinsos, kemudian pada 2 Desember 2020 di transfer ke rekening penyedia barang, kemudian kontrak dibuat pada 7 Desember 2020 tanpa merincikan sembako yang akan dibelanjakan.

“Dana sudah transfer ke penyedia, tapi kontrak belum dibuat, tidak ada rincian belanja, yang ada hanya total anggaran keseluruhan untuk belanja sembako. Hal ini melanggar peraturan LKPP Nomor 13 tahun 2018 tentang pengadaan barang dan jasa dalam penanganan keadaan darurat,” urainya.

Terkait keterangan Arif Staf Dinsos Bagian Data, bahwa data penerima tahap pertama sebanyak 2.663 orang, tahap kedua 2.423 orang, maka jika ditotal jumlah penerima 5.086 orang.
Sementara, berdasarkan LHP BPK RI setiap penerima sembako jika di rupiahkan dengan sembako yang diterima oleh masyarakat miskin senilai Rp 148.000, sementara nilai barang yang ditetapkan penyedia barang adalah Rp 200.000 per paket sembako, sehingga ada selisih atau ada keuntungan sekitar Rp 264 juta lebih.

“Ada selesih Rp 264 juta, coba kalikan, data penerima 5.086 dengan data di LHP BPK RI bahwa setiap penerima jika dirupiahkan sebanyak Rp 148.000 ribu per paket bantuan, maka ada selisih Rp 264.472.000, dari dana yang masuk ke rekening penyedia barang Rp 1.017.400.456,” rincinya.

“Jika penyaluran ada yang salah, ada kejanggalan, ya Edo Kadinsos seharusnya tidak melanjutkan estafet dana CSR tersebut, tapia dia mengaku hanya melanjutkan pejabat sebelumnya, dan mengikuti ketentuan Bank Sulteng cabang Tolitoli,” timpalnya.

PERNYATAAN KONTRADIKTIF

Diberitakan sebelumnya, Plt Kepala Dinsos Tolitoli Roedolf disapa Edo menyatakan bahwa, ketika ia menjabat sebagai Plt Kadinsos dirinya hanya tinggal melanjutkan estafet kepemimpinan pejabat sebelumnya, termasuk soal dana CSR yang ditransfer ke rekening bendahara Dinsos. Kemudian, pada mekanisme penyaluran dana transfer ia mengaku hanya mengikuti apa yang menjadi mekanisme atau perintah dari Bank Sulteng cabang Tolitoli.
Sedangkan Pimpinan Bank Sulteng cabang Tolitoli Sultan SE kepada Radar Sulteng pernah menyakan bahwa, penyaluran dana CSR merupakan kewenangan Bank Sulteng pusat di Palu, dana CSR bisa ditentukan nilainya dan diberikan setelah ada persetujuan dalam Rapat Pemegang Saham (RPS).

“Tahun 2013-2014, dana CSR yang kami salurkan adalah dalam bentuk barang yakni kendaraan roda tiga kaisar pengakut sampah, ini diberikan sesuai proposal yang diajukan pemkab Tolitoli,” sebutnya.

Karena itu, sambung Sultan, tahapan penyaluran dana CSR terlebih dahulu ditangani tim CSR di kantor pusat, sedangkan Bank Sulteng cabang Tolitoli hanya membantu pusat melengkapi dokumen permohonan dalam bentuk proposal yang disiapkan Pemkab Tolitoli.

Dana CSR Kabupaten Tolitoli tahun 2020, direalisasikan dalam dua tahap. Pertama, pada Juli 2020 sebesar Rp 532 juta lebih dan di bulan Oktober 2020 senilai Rp 484 juta lebih, total Rp 1 miliar lebih, Penyerahan dana CSR dilakukan dalam acara seremonial.

“Kalau dibilang fiktif ya dimana letaknya, kami kan hanya menyerahkan kepada pemerintah daerah, sesuai dengan proposal pemda. Setelah itu, bukan ranah kami untuk mencampuri penyaluran di lapangan,” tegasnya. (dni/yus)