Loadingtea

Ada Pertanggungjawaban Hukum dalam Tragedi KM 8

NUSSA.CO, BALIKPAPAN — Tragedi tenggelamnya enam anak di kawasan KM 8 Balikpapan memunculkan perhatian serius dari Biro Bantuan Hukum (BBH) Balikpapan. Menurut BBH, peristiwa tersebut tidak boleh dianggap sebagai kecelakaan biasa karena terdapat sejumlah aspek hukum, tata ruang, dan keselamatan publik yang wajib ditelusuri secara mendalam. Kubangan air dengan kedalaman signifikan yang berada di area terbuka itu diduga merupakan bekas aktivitas pengerukan tanah, sehingga berpotensi berkaitan dengan kegiatan galian yang wajib mengikuti ketentuan hukum.

Kabid Litbang BBH Balikpapan, Agung Wicaksono, S.H., M.H., menyampaikan bahwa lokasi kejadian memperlihatkan karakteristik yang harus diverifikasi melalui pendekatan hukum. Mulai dari kemungkinan adanya aktivitas galian C, kepastian izin pengerukan, hingga kewajiban pemilik lahan dalam memastikan keselamatan masyarakat sekitar. Ia menegaskan bahwa publik berhak mendapatkan kepastian mengenai status lahan dan pihak yang bertanggung jawab.

Dalam perspektif hukum, kegiatan galian C berada dalam pengawasan ketat pemerintah daerah, termasuk mengenai izin, teknis pengerjaan, hingga kewajiban reklamasi setelah kegiatan selesai. Kota Balikpapan sendiri telah mengatur hal tersebut melalui Perda Nomor 29 Tahun 2000. Jika kubangan tersebut memang merupakan bekas pengerukan, status izinnya harus dibuktikan secara hukum dan administratif.

Agung menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata, pemilik lahan bertanggung jawab secara hukum atas kerugian akibat kelalaiannya menjaga keamanan tanah yang berada dalam kekuasaannya. Dalam konteks ini, ia menilai pengembang maupun pemilik tanah wajib memberi pengamanan fisik, seperti pagar, peringatan bahaya, atau pembatas area untuk mencegah risiko kepada warga, terutama anak-anak. Kelalaian ini dapat menyeret pihak terkait ke ranah pidana sesuai Pasal 359 KUHP.

Selain aspek pertambangan dan properti, kasus ini juga menyentuh isu perlindungan anak. Agung menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 mengharuskan pemerintah daerah memastikan lingkungan tetap aman bagi anak. Lingkungan terbuka yang berbahaya tanpa pengamanan dapat dianggap bentuk pelanggaran terhadap perlindungan anak.

Agung meminta pemerintah daerah bersama aparat penegak hukum melakukan penyelidikan dengan cakupan komprehensif, mulai dari riwayat aktivitas pengerukan, status izin, pemilik dan pengendali lahan, hingga potensi pidana, perdata, maupun administratif. Ia menilai tragedi ini harus menjadi momentum perbaikan sistem pengawasan lingkungan dan tata ruang agar kejadian serupa tidak terulang.

“Enam anak meninggal bukan sekadar angka. Ini peringatan keras bahwa ada sistem pengawasan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya,” tegas Agung.

Ia menambahkan, berdasarkan informasi yang dihimpun BBH, para korban ditemukan tenggelam setelah saling berusaha menolong teman mereka yang lebih dulu terperosok ke dalam kubangan. Situasi tersebut memperlihatkan betapa berbahayanya kondisi area tersebut dan bagaimana kelalaian bisa berdampak fatal bagi masyarakat.

Agung memastikan BBH Balikpapan akan mengawal proses hukum hingga tuntas, untuk memastikan tidak ada satupun pihak yang luput dari tanggung jawab. (*/day)