Tiga Kali Diperiksa, Asrul Bantilan Bakal Tersangka ?
Bakrie Minta Tim Kejari Profesional, Asrul Harus Bertanggungjawab
NUSSA.CO, TOLITOLI – Teka-teki siapa sebenarnya otak atau sosok dalang yang memunculkan dana “ghoib” Rp 800 juta, dalam kasus pengadaan alat kesehatan (Alkes) 2016 yang kini ditangani Kejaksaan Negeri (Kejari) Tolitoli, perlahan sedikit mulai terkuak.
Selain nama Bakrie Idrus-mantan Kepala Dinas Kesehatan Tolitoli dan Nuraeni selaku PPK yang ditetapkan sebagai tersangka, ada kemungkinan Korps Adhyaksa bakal merilis nama tersangka baru yang diduga kuat terlibat dalam kasus ini.
“Kami masih terus mendalami sejumlah keterangan saksi, termasuk keterangan tersangka BI kepada awak media yang menyebutkan soal dugaan keterlibatan mantan Kepala BKD Asrul Bantilan. Kita masih mendalami hal itu,” ungkap Kajari Albertinus P. Napitupulu SH, MH usai agenda pemeriksaan ketigakalinya terhadap Asrul Bantilan, Selasa (02/09/2024) siang di kantor Kejari Tolitoli.
Mengenakan setelan seragam kedinasan berwarna coklat, Asrul tiba di gedung Kejari Tolitoli pukul 10.50 Wita, agak molor dari undangan yang dijadwalkan pukul 10.00 Wita.
“Kemungkinan ada kesibukan lain pak sekda,” timpal Kajari.
Lanjut Kajari, tim penyidik Kejari Tolitoli saat ini telah melakukan pemeriksaan terhadap lebih dari 10 orang saksi, termasuk saksi ahli. Dan kemungkinan munculnya tersangka baru bisa saja terjadi, jika alat bukti yang ada mengarah pada bukti tersangka baru.
“Jika diduga kuat ada keterlibatan nama lain, ya kita akan lakukan penetapan tersangka baru. Kita tunggu saja hasil pemeriksaan tim, nanti akan ada ekspos,” ungkap Kajari yang menambahkan, kurang lebih 2 jam Sekkab diperiksa tim penyidik, sejumlah pertanyaan diajukan di antaranya seputar peran Asrul Bantilan dalam proses penganggaran pengadaan Alkes tersebut.
Seperti diberitakan sebelumnya, mantan Kadis Kesehatan, Bakrie Idrus kepada wartawan menyebutkan bahwa, awalnya pengadaan alkes ada di 14 puskesmas, namun setelah pemeriksaan BPK ternyata barang itu muncul di e-katalog, sehingga sesuai ketentuan harus melewati proses tender.
“Hasil pemeriksaan, BPK memerintahkan saya selaku kepala dinas agar mengoreksi harga sebelum dibayar. Tetapi, ada surat bupati memerintahkan saya untuk menentukan posisi harga,” kata Bakrie.
Setelah itu, lanjut dia, dilakukanlah restrukturisasi harga, sesuai persetujuan kontraktor, BPK bersama Anjas mantan Kadinkes 2020 melakukan revisi. Setelah revisi, lalu diserahkan ke bagian keuangan. Selanjutnya diserahkan ke BPK, ke Inspektorat kemudian bendahara. Waktu melakukan penagihan pertama, cairlah sebesar Rp 2 miliar, dan terjadi pembayaran. Anehnya, setelah itu, tiba-tiba kegiatan itu muncul lagi dalam daftar, padahal Dinkes tidak mengajukan ke bagian keuangan. Tetapi, keuangan malah membuat kegiatan itu terdaftar sebagai program.
Bakrie Idrus bersikukuh, seharusnya bagian keuangan dalam hal ini mantan kepala BKD Asrul Bantilan juga harus bertanggungjawab dalam kasus ini. Sebab, Asrul saat itu menjabat sebagai Kaban Keuangan, dan ada pula perintah bupati agar membuat revisi.
“Saya minta penyidik kejaksaan profesional dalam menangani kasus ini. Jika ditarik benang merahnya, seharusnya Asrul selaku kepala BKD saat itu, juga harus jadi tersangka,” pintanya.
Alasan Bakri Idrus meminta Asrul Bantilan ikut “terseret” dalam kasus ini, karena menduga, Asrul Bantilan cukup berperan sehingga terjadi kelebihan anggaran sebesar 800 juta, meskipun besaran pembayaran pengadaan Alkes tahun 2016 telah lunas terbayar.
“Pengadaan Alkes di masa saya masih menjabat kepala dinas, setahu saya telah lunas terbayar, saya sama sekali tidak tahu, setelah saya tidak menjabat, ternyata dianggarkan lagi sebesar 800 juta, dan berhasil dicairkan, harusnya dikejar, siapa yang menganggarkan dan siapa saja yang mencairkan, mereka juga harus ditetapkan tersangka,” tegasnya.
Jelas Bakrie, pengadaan Alkes 2016 untuk sejumlah PKM awalnya sebesar Rp 3,5 miliar, namun kemudian di tengah proses pengadaan, BPK saat itu menemukan ketidaksesuaian harga, karena tidak mengacu pada e-Katalog. Lantas, BPK merekomendasikan kepada bupati melakukan revisi harga hingga kemudian terjadi perubahan harga menjadi Rp 2,6 miliar.
Bakri menguraikan, pengadaannya dilaksanakan tahun 2016, namun baru terbayarkan pada tahun 2017 sebesar Rp 2 miliar, karena alasan keterbatasan anggaran tahun 2018 tidak terbayarkan dan kembali dianggarkan dan terbayar pada tahun 2019 sebesar Rp 800 juta.
“Saat itu kami diwajibkan mengembalikan kelebihan pembayaran kurang lebih 200 juta, karena total kekurangan pembayaran sekitar 600 juta dari 2,6 miliar sesuai dengan ketetapan harga hasil perubahan harga sesuai rekomendasi BPK,” ungkap Bakri.
Masalahnya, menurut Bakri, di tahun 2020 saat ia tidak lagi menjabat, tiba-tiba muncul lagi anggaran sebesar 800 juta dan berhasil dicairkan masuk ke rekening perusahaan.
“Siapa yang menganggarkan ?, siapa yang mencairkan ?, ini yang menjadi tanya besar. Kepala BKD saat itu dan siapa di dinas Kesehatan yang melakukan proses terbitnya SPM, serta perusahaan yang menerima anggaran tersebut, seharusnya diseret pula menjadi tersangka, karena merekalah biang kerok terjadinya kerugian negara,” tutur Bakri dengan nada sedikit emosi.
Untuk itu, ia meminta tim penyidik kejaksaan Negeri Tolitoli lebih profesional dalam menangani kasus ini. Ia meminta agar pihak yang seharusnya bertanggung jawab turut dijadikan tersangka.
Menanggapi kasus ini, kepada wartawan Sekkab Tolitoli Asrul Bantilan menjelaskan, selaku kepala BKD ia mengaku telah menerbitkan SP2D sebagai dasar pencarian dana Alkes dalam menindaklanjuti SPM yang diajukan oleh Dinas Kesehatan.
” Kepala Badan Keuangan juga berfungsi sebagai bendahara umum daerah, jadi tugas pokok dan fungsi adalah mencairkan anggaran, jika secara administrasi dinyatakan lengkap, termasuk SPM yang diajukan oleh dinas kesehatan, dan tidak ada alasan untuk tidak menerbitkan SP2D karena lengkap, salah kita kalo tidak mencairkan,” jawab Asrul.
Apalagi, menurut Asrul, SPM yang diajukan dinas kesehatan tersebut telah melalui verifikasi ketat, mulai dari penelitian serta kelengkapan dokumen, sehingga secara administratif, Kasubdit pengelolaan Kas menerbitkan SP2D dan menyerahkan untuk ditandatanganinya.
Sementara, keterangan terkait timbulnya anggaran sebesar Rp 800 juta, Bondan selaku mantan Kabid Anggaran BKD Tolitoli saat ditemui wartawan mengatakan, teranggarkannya pembayaran lebih tersebut, karena masih mengacu pada nilai kontrak sebesar Rp 3,5 miliar.
Selain Kabid anggaran, Anjasmara selaku mantan Kepala Dinas Kesehatan tahun 2020 yang juga dimintai keterangan menjelaskan, selain menandatangani persetujuan perubahan harga sesuai permintaan BKP, ia mengaku sama sekali tidak terlibat soal proses pengajuan SPM (Surat Perintah Membayar).
“Saya hanya bertandatangan, pada surat persetujuan revisi harga, selain itu saya sama sekali tidak bertandatangan pada proses terbitnya SPM, semuanya ditandatangani PPK yang juga Kuasa Pengguna Anggaran pada proyek itu,” ungkapnya. (ham)
Tinggalkan Balasan