Loadingtea

Kasus Alkes 2016 Jalan Terus, Kontraktor Jadi Tersangka

NUSSA.CO, TOLITOLI – Meski sempat diterpa isu tak sedap, ada “ATM” Rp 360 juta di balik penanganan kasus dugaan korupsi Alat Kesehatan (Alkes) tahun 2016, Kejaksaan Negeri (Kejari) Tolitoli, pastikan tak goyah.

Ini dibuktikan dengan terus bergulirnya penanganan kasus oleh tim Kejari Tolitoli. Bahkan, terbaru Kejari Tolitoli kembali menetapkan seorang berinisial FH—yang merupakan rekanan atau kontraktor pengadaan alat kesehatan. FH sendiri diduga merupakan pemilik dari perusahaan yang bergerak di bidang pengadaan alat kesehatan bernama PT. Lingkar Andalan Nusantara, beralamat di Jl. Udang Raya No 30, Bekasi Selatan.

Di hadapan awak media, Kajari Tolitoli Albertinus P. Napitupulu SH. MH menyebutkan, tim Kejari telah menyita dua alat bukti yang menjadi alasan kuat bagi Kejari Tolitoli untuk menetapkan FH sebagai tersangka.

“Dua alat bukti tersebut merupakan dokumen administrasi dan transaksi pengadaan. Komitmen kami, jika kembali ditemukan ada bukti kuat yang mengarah kepada tersangka lain, ya kami akan menetapkan tersangka baru, pasti akan kami lakukan, isu ATM itu hoax dan tidak benar adanya, kami tidak goyah kasusnya jalan terus,” ungkap Kajari di gedung Kejari Tolitoli, Senin (23/09/2024) pagi.

Selain itu, Kajari menantang pihak-pihak atau oknum yang telah berani menyebarkan berita hoax soal ATM Rp 360 juta, dengan alat bukti nyata.

“Isu itu beredar di tengah masyarakat, dan kami tegaskan bahwa itu tidak benar. Kerja-kerja kami kerja profesional, sesuai koridor dan rambu yang ada, kami tidak berani macam-macam, kalau pun ada oknum petugas kami yang bermain, laporkan…akan kami tindak tegas,” seru Kajari.

ASRUL TEGASKAN HANYA BERITA HOAX

Dikonfirmasi terpisah soal ATM Rp 360 juta, Sekkab Tolitoli Asrul Bantilan menegaskan isu tersebut hanyalah berita bohong alias hoax.

“Oh gak benar itu, bohong, hoax. Saya tidak pernah memberikan uang, menjanjikan uang atau apapun petugas aparat Kejari terkait dalam kasus ini,” jawab Asrul usai menghadiri rapat paripurna DPRD Tolitoli, Senin (23/09/2024).

Seperti diberitakan sebelumnya, Kejari Tolitoli telah menetapkan nama Bakrie Idrus-mantan Kepala Dinas Kesehatan Tolitoli dan Nuraeni selaku PPK sebagai tersangka.

Selain itu , Kejari saat ini masih mendalami dugaan keterlibatan Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Tolitoli Asrul Bantilan yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Keuangan.

“Kalau Asrul Bantilan sudah kami periksa tiga kali, ya nanti kita akan terus dalami sejauh mana keterlibatan dia dalam kasus ini,” janji Kajari.

Untuk diketahui, dalam kasus dugaan korupsi Alkes ini tim penyidik telah memeriksa lebih dari 10 orang saksi, termasuk saksi ahli.

Selain itu, mantan Kadis Kesehatan Bakrie Idrus kepada awak media pernah mengungkapkan bahwa, awalnya pengadaan alkes ada di 14 puskesmas, namun setelah pemeriksaan BPK ternyata barang itu muncul di e-katalog, sehingga sesuai ketentuan harus melewati proses tender.

“Hasil pemeriksaan, BPK memerintahkan saya selaku kepala dinas agar mengoreksi harga sebelum dibayar. Tetapi, ada surat bupati memerintahkan saya untuk menentukan posisi harga,” kata Bakrie.

Setelah itu, lanjut dia, dilakukanlah restrukturisasi harga, sesuai persetujuan kontraktor, BPK bersama Anjas mantan Kadinkes 2020 melakukan revisi.

Setelah revisi, lalu diserahkan ke bagian keuangan. Selanjutnya diserahkan ke BPK, ke Inspektorat kemudian bendahara. Waktu melakukan penagihan pertama, cairlah sebesar Rp 2 miliar, dan terjadi pembayaran. Anehnya, setelah itu, tiba-tiba kegiatan itu muncul lagi dalam daftar, padahal Dinkes tidak mengajukan ke bagian keuangan. Tetapi, keuangan malah membuat kegiatan itu terdaftar sebagai program.

Bakrie Idrus bersikukuh, seharusnya bagian keuangan dalam hal ini mantan kepala BKD Asrul Bantilan juga harus bertanggungjawab dalam kasus ini. Sebab, Asrul saat itu menjabat sebagai Kaban Keuangan, dan ada pula perintah bupati agar membuat revisi.

“Saya minta penyidik kejaksaan profesional dalam menangani kasus ini. Jika ditarik benang merahnya, seharusnya Asrul selaku kepala BKD saat itu, juga harus jadi tersangka,” pintanya.

Alasan Bakri Idrus meminta Asrul Bantilan ikut “terseret” dalam kasus ini, karena menduga, Asrul Bantilan cukup berperan sehingga terjadi kelebihan anggaran sebesar 800 juta, meskipun besaran pembayaran pengadaan Alkes tahun 2016 telah lunas terbayar.

Pengadaan Alkes 2016 di sejumlah PKM awalnya sebesar Rp 3,5 miliar, namun kemudian di tengah proses pengadaan, BPK saat itu menemukan ketidaksesuaian harga, karena tidak mengacu pada e-Katalog. Lantas, BPK merekomendasikan kepada bupati melakukan revisi harga hingga kemudian terjadi perubahan harga menjadi Rp 2,6 miliar. Pengadaannya dilaksanakan tahun 2016, namun baru terbayarkan pada tahun 2017 sebesar Rp 2 miliar, karena alasan keterbatasan anggaran tahun 2018 tidak terbayarkan dan kembali dianggarkan dan terbayar pada tahun 2019 sebesar Rp 800 juta.

“Saat itu kami diwajibkan mengembalikan kelebihan pembayaran kurang lebih 200 juta, karena total kekurangan pembayaran sekitar 600 juta dari 2,6 miliar sesuai dengan ketetapan harga hasil perubahan harga sesuai rekomendasi BPK,” ungkap Bakri.

Masalahnya, menurut Bakri, di tahun 2020 saat ia tidak lagi menjabat, tiba-tiba muncul lagi anggaran sebesar 800 juta dan berhasil dicairkan masuk ke rekening perusahaan. (ham)