Loadingtea

NUSSA.CO, TOLITOLI — Pemilu 2024, khususnya di Kabupaten Tolitoli kini ramai disoroti warga Kota Cengkeh, khususnya soal aksi money politic atau politik uang yang dilakukan dua caleg di Tolitoli.

Dua caleg tersebut membagi-bagikan bantuan sosial alias bansos yang diduga bersumber dari anggaran salah satu OPD di Pemprov Sulteng, yakni berupa blender, mixer, kompor gas, hingga tenda, diduga dilakukan caleg provinsi dan kabupaten.

Aksi bagi-bagi ini pun dilaporkan warga ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Tolitoli, Rabu 21/2.

Laporan awal tersebut diterima Bawaslu sekitar pukul 22.00 Wita dengan dikeluarkannya Tanda Bukti Penyampaian Laporan bernomor 002/LP/PL//Kab/26.10/II/2024 yang berisi bukti 7 dokumen video serta bukti screenshot percakapan via whatsaap.

Barta Tauhid selaku pelapor kepada media mengatakan, seluruh bukti fisik barang bantuan telah terangkum dalam bukti video yang diserahkan ke Bawaslu.

” Kalau nantinya laporan kami dan masalah ini telah diproses oleh Gakkumdu, kami telah menyiapkan bukti fisik, berupa blender, mixer, kompor gas maupun tenda sesuai dengan pengakuan yang ada dalam video maupun hasil percakapan Whatsaap,” ungkap Barta.

Ia juga menggambarkan, berdasarkan keterangan penerima dan hasil temuan atas aksi “bagi-bagi Bansos” Caleg Provinsi Dapil Tolitoli Buol berinisial FA dan Caleg Kabupaten Dapil I Baolan berinisial DA tersebut, dalam melakukan aksinya, yang bersangkutan saat menyerahkan bantuan, tidak turun langsung ke rumah-rumah warga, namun menggunakan tokoh warga setempat, dengan cara mengumpul KTP lalu membuat komitmen dan mendatangi kediaman caleg yang bersangkutan agar bisa mendapatkan bansos yang dijanjikan.

“Jadi, caleg ini tidak mendatangi warga, tapi warga yang mendatangi rumahnya dengan dikoordinir oleh orang kepercayaannya. Sesuai pengakuan penerima, di situlah mereka harus berkomitmen memilih keduanya, jika mau mendapatkan bantuan,” ungkap Barta Tauhid mengutip video pengakuan salah seorang penerima.

Ia mencontohkan, sesuai bukti video berdurasi 1 menit 3 detik, yang diserahkan ke Bawaslu, memperlihatkan salah seorang ibu rumah tangga di Desa Lelean Nono, Kecamatan Baolan, mengaku, diminta mengumpulkan 28 orang, setelah terkumpul, kemudian diajak keruma FA dan DA untuk menerima Bansos dengan konsekuensi harus memilih keduanya.

Modus bagi-bagi Bansos serupa menurutnya, diduga dilakukan sang caleg, hampir di seluruh titik dalam kota hingga beberapa pulau yang ada di Kecamatan Baolan.

Irfan Siduppa selaku Penasehat Hukum (PH) pelapor mengatakan, bagi-bagi blender dan sebagainya seperti yang sedang viral diperbincangkan di berbagai kesempatan maupun pembahasan melalui sosial media saat ini, masuk kategori pidana Pemilu, khususnya money politic, untuk itu jika dtemukan bukti kongkrit, maka Bawaslu harus segera mendorong kasus tersebut untuk diproses melalui Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu)

“Bantuan pribadi saja, sudah masuk kategori money Politik, apalagi jika benar dugaan adanya penyalahgunaan bansos yang bersumber dari anggaran negara, baik dari APBD maupun APBN digunakan untuk membeli suara masyarakat,” tegas Irpan Suduppa.

 

Ia menegaskan, pihaknya akan terus mendampingi pelapor dan mengawal kasus tersebut hingga diproses melalui Gakkumdu sampai adanya keputusan final.

Sementara, sesuai pengaduan yang tertuang dalam TBPL Bawaslu bernomor 002/LP/PL//Kab/26.10/II/2024, dalam dokumen tersebut terdapat sedikitnya 8 bukti laporan, di antaranya, 4 gambar Screenshoot percakapan Whatsaap antara terlapor dan saksi Yuliani Timumun, kemudian 3 rangkap screenshoot status dan komentar dimedsos FB terkait pembagian barang oleh terlapor, 3 buah rekaman video akhir bulan Desember 2023 berisi kampanye di rumah saksi Yuliani Timumun, video berisi pertemuan 20 Januari 2024 di kediaman terlapor berisi pembagian barang dan ajakan memilih nomor urut Caleg, video pengakuan saksi Yuliani Timumun, 3 rekaman video pembagian mixer di wilayah pelabuhan Kelurahan Sidoarjo, video pengakuan Kadir alias Aco, di wilayah Lemba Kelurahan Baru, berupa tenda besi.

Untuk diketahui, secara hukum, tindak pidana politik uang tertulis dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 pada Pasal 278, 280, 284, 515 dan 523 tentang Pemilihan Umum. Pada Pasal 523 ayat (1) sampai ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terdapat tiga kategori sanksi politik uang berdasarkan waktunya, yakni pada saat kampanye, masa tenang, serta saat pemungutan dan penghitungan suara.

Adapun dalam Pasal 523 ayat (1), sanksi yang dikenakan ketika seseorang terlibat dalam politik uang saat kampanye adalah pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta. Sedangkan sanksi politik uang ketika masa tenang berdasarkan Pasal 523 ayat (2) adalah pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp 48 juta.

Sanksi terakhir yang akan diterima pelaku politik uang secara perorangan pada hari pemungutan suara adalah pidana penjara maksimal tiga tahun dan denda Rp 36 juta. Sanksi ini diatur dalam Pasal 523 ayat (3) yang bunyinya :

“Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00.”

Selain sanksi pidana dan denda, seseorang yang terbukti melakukan politik uang secara otomatis akan terdiskualifikasi dari penyelenggaraan Pemilu. (Ham)